Mukhadimah
Salah satu usaha Islam adalah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberi hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia - siakan. Sehingga walinya dengan semena - mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu datanglah Islam menghilangkan belenggu itu. Kepadanya di beri hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Dan kepada orang yang paling dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikit pun harta bendanya tersebut, kecuali dengan ridhonya dan kemampuannya sendiri. Allah berfirman :
Jumlah Mahar (Mas Kawin)
Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Karena itu Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang, atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tentang mahar tidaklah dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecilnya jumlah. Jadi boleh memberi mahar misalnya dengan cincin besi atau segengam kurma atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan lain sebagainya, asal saja sudah saling disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad.
1. Dari ‘Amir bin Rabi’ah bahwa seorang perempuan bani Fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah bersabda :
2. Dari Anas, bahwa Abu Thalhah pernah meminang Ummu Sulaim katanya: ”Demi Allah….., orang seperti anda tak patut ditolak lamarannya…., tetapi anda orang kafir sedangkan saya orang Islam. Saya tidak halal nikah dengan anda. Jika anda mau masuk Islam, itu jadi maharnya. Dan saya tidak meminta kepada anda sesuatu yang lain”. Maka jadilah ke-Islamannya itu sebagai maharnya.
Hadits-hadits di atas ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh dalam yang jumlah sedikit. Dan boleh pula berupa sesuatu yang bermanfaat. Di antara yang bermanfaat itu adalah mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an.
Dari Abdullah bin Mus’ab,
Mahar berlebih-lebihan
Islam sangat menghendaki meluaskan jalan dan kesempatan kepada sebanyak mungkin laki-laki dan perempuan untuk menempuh hidup suami istri, agar masing – masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik. Untuk mencapai hal ini, tak lain daripada harus memberikan jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang kafir yang sulit mengeluarkan biaya yang besar, padahal mereka merupakan jumlah terbanyak dari umat manusia yang mampu untuk berumah tangga. Karena itu Islam tak menyukai mahar yang berlebih - lebihan. Bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberi barokah dalam kehidupan suami isteri. Dan mahar yang murah adalah menunjukkan kemurahan hati si-perempuan.
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw. Bersabda :
عَنْ عَا ئِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ (ص) قَالَ اِنَّ اَعْظَمَ النِّكَا حِ بَرَ كَةً اَيْسَرُ هُ مَؤُ نَةً . وَقَا لَ يُمْنُ اْلمَرْأَةٍ خِفَّةُ مَهْرِهَا , وَيُسْرُنِكَا حِهَا. وَحُسْنُ خُلُقِهَا. وَ شُؤْ مُهَا غَلاَ ءَ مُهْرِ هَا وَعُسْرُ نِكَا حِهَا وَسُوْ ءُ خُلُقِهَا.
”Sesungguhnya perkawinan yang besar barokahnya adalah yang paling murah maharnya”. Dan sabdanya pula :”Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik akhlaqnya. Sedang perempuan yang celaka yaitu, yang maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk akhlaqnya.”
Waktu Wajib Membayar Mahar Yang Dijanjikan Sebelumnya
Mahar yang telah dijanjikan wajib dibayar seluruhnya bila berada dalam salah satu dari keadaan berikut ini:
1. Kalau sudah benar-benar disenggamai. Karena Allah berfirman:
وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَا نَ زَوْجٍ وَا تَيْتُمْ اِحْدهُنَّ قِنْطَا رًافَلاَ تَأ خُذُوْا مِنْهُ شَيْئًا – النسا ء –
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya sedikitpun.” (an-Nisa’ : 20).
Kawin Tanpa Menyebutkan Maharnya Lebih Dulu
Kawin dengan tidak ditetapkan maharnya lebih dulu disebut nikah tafwidh. ) Hal ini menurut kebanyakan Ulama dibolehkan. Karena Allah berfirman:
لاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ مَالَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْتَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً – البقرة
“…tidak ada dosa atas kamu (tidak wajib membayar mahar) jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur denga mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.”
Wajib Membayar Mahar Mitsl, Sesudah Bersenggama atau Karena Kematian.
Jika suami telah menyenggamai isterinya atau mati sebelum sempat bersenggama maka isterinya berhak mendapat mahar mitsl dan warisan. Abu Dawud meriwayatkan dari Abdulah bin Mas’ud yang dalam masalah ini ia berkata: ” Menurut pendapatku sendiri, jika benar adalah dari Allah , dan jika salah adalah dari saya sendiri. Bahwa bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya (sebelum disenggamainya) ia berhak mendapat mahar seperti perempuan yang lain, tidak kurang dan tidak lebih. Dia wajib iddah dan berhak mendapat warisan.”
Lalu Ma’qil bin Yasar berdiri setaya berkata: “Saya bersaksi sungguh pikiranmu itu sesuai dengan putusan Rasulullah pada diri Barwa’ binti Wasyiq. Demikianlah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Dawud dan fatwa Syafi’I yang paling kuat.
Mahar Mitsl
Mahar Mitsl adalah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan perempuan lain, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, kegadisannya, kejandaannya, dan negerinya sama ketika aqad nikah dilangsungkan. Dan jika dalam factor-faktor tersebut berbeda, maka berbeda pula maharnya. Seperti janda yang mempunyai anak, janda tanpa anak dan gadis (perawan). Sebaba jumlah mahar untuk perempiuan biasanya terjadi perbedaan, karena perbedaan faktor-faktor tersebut. Ukuran sama yang dipergunakan yaitu dengan melihat kepada anggota keluarganya sendiri, seperti : saudara perempuannya sekandung, bibinya dan putri-putri bibinya.
Ahmad berkata: “Juga diukur dengan keluarganya, golongan Ushbah dan golongan dzawil arham. Jika ada perempuan dari golongan keluarganya pihak ayah, maka dibandingkanlah dengan perempuan lain yang mau menetapkan berapa mahar mitsl untuknya. Maka dengan mengambil ukuran seorang perempuan asing dari suatu keluarga yang tingkatnya setarap dengan keluarga ayahnya, dijadikan ukurannya."
Kawinnya Gadis Kecil Dengan Mahar Kurang Dari Mahar Mitsl
Syafi’i, Daud, Ibnu Hazm dan dua orang murid golongan Hanafi berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dengan mahar kurang dari mahar mitsl.
Harga yang ditetapkan ayahnya tidak mengikat padanya. Ia harus diberi mahar mitsl, dengan ukuran perempuan baligh. Karena mahar adalah hak perempuan, dan tak ada hak bagi ayahnya untuk menentukan jumlahnya. Tetapi Abu Hanifah berpendapat, jika ayah yang mengawinkan anak perempuannya itu masih di bawah umur, ia boleh mengurangi jumlahnya dari mahar mitsl. Tetapi kalau bukan ayah atau kakeknya, tidak boleh menentukan jumlah mahar yang dikehendaki.
“…tidak ada sesuatu pun (mahar atau dosa) atas kamu jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka; orang yang mapu menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan ” (Al-Baqarah: 236)
Gugurnya Mahar
Suami gugur dari kewajiban membayar mahar seluruhnya jika perceraian sebelum terjadinya senggama datang dari pihak isteri, umpama isteri keluar dari Islam, atau minta fasakh karena suami miskin, cacad, atau karena isteri cacad lalu suami minta dibatalkan, atau karena permpuan setelah dewasa menolak untuk bersuamikan dengan suami yang ia dikawinkan waliny sebelum balighnya.
Bagi isteri seperti ini hak pesangonnya gugur, karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu daripadanya. Dengan demikian pesangon sebagai ganti gugur seluruhnya, sebagaimana halnya hukum seorang penjual yang tidak jadi menyerahkan barangnya kepada pembelinya.
Begitu juga mahar gugur apabila perempuan belum disenggamai melepaskan maharnya atau menghibahkan kepadanya. Dalam hal sepeerti ini gugurnya mahar dikarenakan perempuannya sendiri yang menggugurkannya. Dan mahar sepenuhnya dalam kekuasaan perempuan.
Memberikan Mahar Tambahan
Abu Hanifah berpendapat : ”Memberikan mahar tambahan sesudah berlangsungnya akad nikah boleh, jika suami telah mencampuri isteriny atau karena mininggal dunia lebih dahulu. Jika suami menthalaq isterinya sebelum terjadi persenggamaan, maka perempuan tidak boleh menerima mahar lebih, tetapi ia hanya berhak separohnya saja. Tetapi Malik berpendapat mahar tambahan itu boleh asalkan sudah terjadi persenggamaan maka ia berhak menerima separoh dari mahar musamma ) dan separoh dari mahar tambahan. Jika suami meninggal sebelum bersenggama atau sebelum menerima penyerahan isterinya, maka gugurlah mahar tambahannya dan tinggal hanya mahar musammanya saja. Tetapi Syafi’i berpendapat: “Mahar tambahan itu merupakan hibah perangsang.” Jika perempuan sudah dipegangnya boleh mahar tambahan ini diterima, jika belum hukumnya batal. Dan Ahmad berpendapat: Hukum mahar tambahan sama dengan mahar musamma.
Memegang Mahar
Jika isteri masih kecil maka bapaknyalah yang berhak memegang (menyimpan) maharnya. Sebab dialah pengurus hartanya. Jika ia tidak punya ayah atau datuk maka wali lainnya yang berhak mengurus, menyimpan dan menitipkan mahar tersebut kepada kantor Bendahara Negara.
Dan wali ini tidak boleh menggunakan harta tersebut kecuali dengan izin Pengadilan khusus.
Adapun mahar perempuan janda (dewasa) hanya boleh disimpan oleh walinya dengan izinnya, jika perempuan itu dewasa. Karena dialah orang yang berhak menggunakan hartanya. Tetapi jika ayah yang memeganga mahar tersebut sepengetahuannya sendiri, maka perbuatan tersebut dianggap mendapat izinnya, jika perempuannya diam. Dan dengan demikian suami terlepas dari tanggung jawab. Karena izin perempuan dalam penyimpanan mahar tersebut oleh ayahnya sendiri adalah ibarat menyimpan harga barang dagangannya.
Adapun bagi gadis yang dewasa dan akalnya sehat, maka ayahnya tidak berhak memegang maharnya, kecuali dengan izinnya, jika ia telah berumur dewasa, seperti halnya dengan janda.
Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa ayahnya berhak memegangnya, walaupun tanpa izinnya. Karena ini berlaku dalam adat dan perempuan / gadis dewasa sama dengan perempuan kecil.
……Wallahu a’lam bi al showab.
Semoga Bermanfaat bagi kita semua. Aamiiin . . .
Salah satu usaha Islam adalah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberi hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia - siakan. Sehingga walinya dengan semena - mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu datanglah Islam menghilangkan belenggu itu. Kepadanya di beri hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Dan kepada orang yang paling dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikit pun harta bendanya tersebut, kecuali dengan ridhonya dan kemampuannya sendiri. Allah berfirman :
وَاتُوْاالنِّسَآءَ صَدُ قَا تِهِنَّ
نِحْلَةً, فَاِ نْ طِبْنِ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍمِنْهُ نَفْسًافَكُلُوْهُ
هَنِيْئًامَرِيْئًا .اانساء –
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang
kamu nikah) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 4)
Pengertian Mahar (Mas Kawin)
Maksudnya berikanlah mahar kepada para
isteri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Jika
isteri setelah menerima maharnya tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu
ia memberikan sebagian maharnya kepadamu, maka terimalah dengan baik.
Hal tersebut tidak disalahkan atau dianggap dosa. Bila interi dalam
memberikan sebagian maharnya karena malu, atau takut, atau terkecoh,
maka tidak halal menerima.
Diwajibkan atas suami sebab nikah, memberi sesuatu kepada si isteri, baik berupa uang atau berupa barang (harta benda). Pemberian inilah yang dinamakan mahar (mas kawin).
Pemberian ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, juga sekiranya tidak disebut pada waktu akad perkawinan sah juga.
Banyaknya mas kawin itu tidak dibatasi oleh syarat Islam, hanya menurut kekuatan suami beserta keridhoan si isteri. Sungguhpun demikian, hendaklah suami benar-benar sanggup membayarnya. Karena mahar telah ditetapkan, sebanyak ketetapan itu menjadi utang atas suami, wajib dibayar sebagaimana utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan menjadi soal dan pertanggungan jawab di hari kemudian. Janganlah terperdaya dengan adat bermegah - megah dengan banyak mahar sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang. Juga terhadap perempuan (istri) dia wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat uangnya yang di piutangnya.
Diwajibkan atas suami sebab nikah, memberi sesuatu kepada si isteri, baik berupa uang atau berupa barang (harta benda). Pemberian inilah yang dinamakan mahar (mas kawin).
Pemberian ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, juga sekiranya tidak disebut pada waktu akad perkawinan sah juga.
Banyaknya mas kawin itu tidak dibatasi oleh syarat Islam, hanya menurut kekuatan suami beserta keridhoan si isteri. Sungguhpun demikian, hendaklah suami benar-benar sanggup membayarnya. Karena mahar telah ditetapkan, sebanyak ketetapan itu menjadi utang atas suami, wajib dibayar sebagaimana utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan menjadi soal dan pertanggungan jawab di hari kemudian. Janganlah terperdaya dengan adat bermegah - megah dengan banyak mahar sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang. Juga terhadap perempuan (istri) dia wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat uangnya yang di piutangnya.
Seperti sabda Nabi Muhammada
Saw :
عَنْ عَائِشَةَاَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
ا للهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ اِ نَّ اَعْظَمَ اَنِّكَا حَ بَرَكَةً
اَيْسَرُهُ مُؤْنَةً . روه أحمد
“Dari ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw.telah bersabda: “Sesungguhnya yang sebesar-besarnya berkat nikah ialah yang sederhana belanjanya” (Riwayat Ahmad).
“Dari ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw.telah bersabda: “Sesungguhnya yang sebesar-besarnya berkat nikah ialah yang sederhana belanjanya” (Riwayat Ahmad).
Mahar wajib diberikan kepada isteri
sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar” ini. Ia merupakan jalan
yang menjadikan isteri berhati senang dan ridho menerima kekuasaan
suaminya kepada dirinya. Allah berfirman :
اَرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ
اانِّسَآءِبِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلىَ بَعْضٍ وَبِمَااَ نْفَقُوْ
امِنْ اَمْوَالِهِمْ – اانسا ء
“….kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Allahlah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena laki-laki telah menafkahkan harta mereka…”. (An-Nisa’ : 34)
Disamping itu mahar untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta-mencintai.
“….kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Allahlah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena laki-laki telah menafkahkan harta mereka…”. (An-Nisa’ : 34)
Disamping itu mahar untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta-mencintai.
Jumlah Mahar (Mas Kawin)
Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Karena itu Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang, atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tentang mahar tidaklah dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecilnya jumlah. Jadi boleh memberi mahar misalnya dengan cincin besi atau segengam kurma atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan lain sebagainya, asal saja sudah saling disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad.
1. Dari ‘Amir bin Rabi’ah bahwa seorang perempuan bani Fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah bersabda :
عَنْ سَهْلٍِ بْنِ سَعٍْد اَنَّ اانَّبِيَّ
( ص )جَاءَتْهُ امْرَاَةْ فَقََا لَتْ يَا رَسُوْ لُ اللهِ اِ نِّي وَهَبْ
نَفْسِيْ لَكَ. فَفَا مَتْ قِيَا مًا طَوِيْلاً, فَفَامَ رَجُلٌ, فَقَالَ
يَا رَسُوْلَ اللهِ زَوِّجْنِيْهَا اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ
تَُصْدِقُهَااِيَّاهُ….؟
فَقَالَ مَاعِنْدِىْ اِلاَّ اِزَارِىْ هَذَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَاِزَا رَلَكَ, فَاْلتَمِسْ شَيْئاً. فَقَالَ مَااَجِدُشَيْئًا.
فَقَالَ اِلْتَمِسْ وَلَوْخَاتِمًامِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْشَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُ (ص) هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْاَنِ شَيْئٌ.؟ قَالَ نَعَمْ : سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَةُ كَذَا. لِسُورَةٍيُسَمِّيْهَا فَقَا لَ النَّبِيِّ (ص) قَدْ زَوَّجْتُكُمَا بِمَا مَعَكَ مِنَالقُرْاَ نِ. رواه البخارى.
“Ya Rasulullah……,sesungguhnya saya menyerahkan diri kepada tuan. Lalu ia berdiri lama sekali. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: Ya….., Rasulullah. Kawinkanlah saya kepada perempuan ini seandainya tuan tiada berhasrat kepadanya. Rasulullah menjawab: ” Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk membayar mahar kepadanya?” Jawabnya: ” Saya tidak punya apa-apa kecuali sarung yang sedang saya pakai ini. Nabi berkata lagi:” Jika sarung tersebut engkau berikan kepadanya, tentu engkau duduk tanpa berkain lagi. Karena itu carilah sesuatu. Lalu ia mencari tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya: Adakah padamu sesuatu ayat Al-Qur’an?” Jawabnya: “Ada”. Yaitu surat anu dan surat anu”. Lalu nabi bersabda: “Sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat Al-Qur’an yang ada padamu”.
فَقَالَ مَاعِنْدِىْ اِلاَّ اِزَارِىْ هَذَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَاِزَا رَلَكَ, فَاْلتَمِسْ شَيْئاً. فَقَالَ مَااَجِدُشَيْئًا.
فَقَالَ اِلْتَمِسْ وَلَوْخَاتِمًامِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْشَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُ (ص) هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْاَنِ شَيْئٌ.؟ قَالَ نَعَمْ : سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَةُ كَذَا. لِسُورَةٍيُسَمِّيْهَا فَقَا لَ النَّبِيِّ (ص) قَدْ زَوَّجْتُكُمَا بِمَا مَعَكَ مِنَالقُرْاَ نِ. رواه البخارى.
“Ya Rasulullah……,sesungguhnya saya menyerahkan diri kepada tuan. Lalu ia berdiri lama sekali. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: Ya….., Rasulullah. Kawinkanlah saya kepada perempuan ini seandainya tuan tiada berhasrat kepadanya. Rasulullah menjawab: ” Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk membayar mahar kepadanya?” Jawabnya: ” Saya tidak punya apa-apa kecuali sarung yang sedang saya pakai ini. Nabi berkata lagi:” Jika sarung tersebut engkau berikan kepadanya, tentu engkau duduk tanpa berkain lagi. Karena itu carilah sesuatu. Lalu ia mencari tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya: Adakah padamu sesuatu ayat Al-Qur’an?” Jawabnya: “Ada”. Yaitu surat anu dan surat anu”. Lalu nabi bersabda: “Sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat Al-Qur’an yang ada padamu”.
2. Dari Anas, bahwa Abu Thalhah pernah meminang Ummu Sulaim katanya: ”Demi Allah….., orang seperti anda tak patut ditolak lamarannya…., tetapi anda orang kafir sedangkan saya orang Islam. Saya tidak halal nikah dengan anda. Jika anda mau masuk Islam, itu jadi maharnya. Dan saya tidak meminta kepada anda sesuatu yang lain”. Maka jadilah ke-Islamannya itu sebagai maharnya.
Hadits-hadits di atas ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh dalam yang jumlah sedikit. Dan boleh pula berupa sesuatu yang bermanfaat. Di antara yang bermanfaat itu adalah mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an.
Dari Abdullah bin Mus’ab,
Umar berkata: ”Janganlah kamu memberikan mahar
kepada perempuan lebih dari empat puluh uqiyah perak. ) Barang siapa
memberi lebih dari pada itu, niscaya lebihnya itu akan saya tarik ke
Baitul Mal”.
Lalu seorang perempuan menyahut: ”Mengapa tuan begitu?”.
Jawabnya: “Mengapa”?
Jawab perempuan itu: “Karena Allah berfirman:
وَاَتِيْتَمْ اِحْدَا هُنَّ قِنْطَا رًا. النساء. –
” Dan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (isteri-isteri) mahar yang banyak.” (An-Nisa’:20)
Lalu Umar berkata : Perempuan ini benar, dan laki-laki itu keliru.
” Dan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (isteri-isteri) mahar yang banyak.” (An-Nisa’:20)
Lalu Umar berkata : Perempuan ini benar, dan laki-laki itu keliru.
Mahar berlebih-lebihan
Islam sangat menghendaki meluaskan jalan dan kesempatan kepada sebanyak mungkin laki-laki dan perempuan untuk menempuh hidup suami istri, agar masing – masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik. Untuk mencapai hal ini, tak lain daripada harus memberikan jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang kafir yang sulit mengeluarkan biaya yang besar, padahal mereka merupakan jumlah terbanyak dari umat manusia yang mampu untuk berumah tangga. Karena itu Islam tak menyukai mahar yang berlebih - lebihan. Bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberi barokah dalam kehidupan suami isteri. Dan mahar yang murah adalah menunjukkan kemurahan hati si-perempuan.
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw. Bersabda :
عَنْ عَا ئِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ (ص) قَالَ اِنَّ اَعْظَمَ النِّكَا حِ بَرَ كَةً اَيْسَرُ هُ مَؤُ نَةً . وَقَا لَ يُمْنُ اْلمَرْأَةٍ خِفَّةُ مَهْرِهَا , وَيُسْرُنِكَا حِهَا. وَحُسْنُ خُلُقِهَا. وَ شُؤْ مُهَا غَلاَ ءَ مُهْرِ هَا وَعُسْرُ نِكَا حِهَا وَسُوْ ءُ خُلُقِهَا.
”Sesungguhnya perkawinan yang besar barokahnya adalah yang paling murah maharnya”. Dan sabdanya pula :”Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik akhlaqnya. Sedang perempuan yang celaka yaitu, yang maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk akhlaqnya.”
Banyak sekali manusia yang tidak mengenal
ajaran ini. Bahkan menyalahi dan berpegang kepada adapt jahiliyah dalam
pemberian mahar yang berlebihan dan menolak untuk menikahkan
anaknya kecuali kalau dapat membayar mahar yang besar, memberatkan dan
menyusahkan. Sehingga seolah - olah perempuan itu merupakan barang
dagangan yang dipasang tarip dalam tiket perdagangannya itu. Perbuatan
semacam ini menimbulkan banyak kegelisahan sehingga baik laki - laki
maupun perempuan terlibat dalam bahayanya, akan menimbulkan banyak
bahayanya, akan menimbulkan banyak kejahatan dan kerusakan serta
mengacaukan dunia perkawinan sehingga akhirnya yang halal ini lebih
sulit dicapai daripada yang haram (zina).
Mahar Kontan dan Hutang
Pelaksanaan mahar dengan kontan dan berhutang, atau kontan sebagian dan hutang sebagian. Hak ini terserah kepada adat masyarakat dan kebiasaan mereka yang berlaku. Tetapi sunnah kalau membayar kontan sebagian, Karena:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ النَّبِيَّ(ص)مَنَعَ عَلِيًّ اَنْيَدْخُلُ بِفَا طِمَةً حَتَّى يُعْطِيَهَا شَيْئًا. فَقَا لَ : مَاعِنْدِىْ شَيْئٌ. فَقَا لَ فَاَيْنَ دِرْعُكَ الحُطَمِيَّةُ؟فَاَعْطَا هُ اِيَّا هَا. رواه ابوداود.والنسائ والحا كم وصححه
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw. Melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya.
Pelaksanaan mahar dengan kontan dan berhutang, atau kontan sebagian dan hutang sebagian. Hak ini terserah kepada adat masyarakat dan kebiasaan mereka yang berlaku. Tetapi sunnah kalau membayar kontan sebagian, Karena:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ النَّبِيَّ(ص)مَنَعَ عَلِيًّ اَنْيَدْخُلُ بِفَا طِمَةً حَتَّى يُعْطِيَهَا شَيْئًا. فَقَا لَ : مَاعِنْدِىْ شَيْئٌ. فَقَا لَ فَاَيْنَ دِرْعُكَ الحُطَمِيَّةُ؟فَاَعْطَا هُ اِيَّا هَا. رواه ابوداود.والنسائ والحا كم وصححه
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw. Melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya.
Lalu jawabnya: “Saya tidak punya
apa-apa”.
Maka sabdanya:” Dimanakah baju besi “Hutanniyah”mu?”.
Lalu
diberikanlah barang itu kepada Fatimah. (H.R.Abu Daud, Nasa’i dan Hakim, dan disahkan olehnya)
Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwatkan:
عَنْ عَائِشَةً قَا لَتْ : اَمَرَ نِى رَسُوْلُ اللهِ(ص) اَنْ اُدْخِلَ اَمْرَأَ ةً عَلَى زَوْجِهَاقَبْلَ اَنْ يُعْطِيَهَاشَيْئًا
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah menyuruh saya memasukkan perempuan kedalam tanggungan suaminya sebelum ia membayar sesuatu (maharnya)."
Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwatkan:
عَنْ عَائِشَةً قَا لَتْ : اَمَرَ نِى رَسُوْلُ اللهِ(ص) اَنْ اُدْخِلَ اَمْرَأَ ةً عَلَى زَوْجِهَاقَبْلَ اَنْ يُعْطِيَهَاشَيْئًا
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah menyuruh saya memasukkan perempuan kedalam tanggungan suaminya sebelum ia membayar sesuatu (maharnya)."
Hadits ini menunjukkan, bahwa boleh
mencampuri perempuan sebelum ia diberi maharnya sedikitpun. Hadits Ibnu
Abbas di atas menunjukkan larangannya dimaksudkan sebagai tindakan lebih
baik, yang secara menentukan hukum dipandang sunnah lebih dulu
memberikan sebagian mahar kepada isterinya.
Suami berhak mencampuri isterinya. Dan isteri wajib menyerahkan diri kepadanya. Dan tak boleh enggan melayaninya sekalipun ia belum memberikan sebagian dari mahar yang telah disyaratkan kontan memberinya, sekalipun siperempuan berhak untuk menghukumnya. Ibnu Hazm berkata: Barang siapa kawin baik lebih dulu menentukan maharnya atau belum, maka ia boleh mencampuri isterinya, baik ia setuju atau tidak. Dan siperempuan berhak menuntut maharnya uang telah ditentukan baik suami setuju atau tidak. Tetapi suami tidak boleh dilarang menggaulinya karena itu. Bahkan suami berhak segera menggaulinya sedang isteri berhak menuntut mahar apa yang dapat diberikannya diwaktu itu. Jika perempuan sebelumnya telah ditetapkan suatu mahar maka pihak laki-laki wajib membayarkannya mahar mitslnya itu, kecuali kalau kedua belah pihak telah sepakat untuk mengurangi atau melebihkan dari mahar tersebut.
Abu Hanifah berkata: “Suami berhak mencampurinya baik ia suka atau tidak, sekalipun maharnya dengan cara berhutang, karena dia sebelumnya ia setuju dengan mahar hutang." Dengan demikian hak suami tidak gugur, tetapi dengan mahar kontan seluruhnya atau sebagian, maka suami tidak boleh mancampurinya sebelum dibayarkannya terlebih dahulu kepadanya apa yang telah dijanjikannya dengan kontan tersebut. Isteri berhak menolak dicampurinya sehingga suami melunasi pembayaran yang disepakatinya secara kontan itu.
Suami berhak mencampuri isterinya. Dan isteri wajib menyerahkan diri kepadanya. Dan tak boleh enggan melayaninya sekalipun ia belum memberikan sebagian dari mahar yang telah disyaratkan kontan memberinya, sekalipun siperempuan berhak untuk menghukumnya. Ibnu Hazm berkata: Barang siapa kawin baik lebih dulu menentukan maharnya atau belum, maka ia boleh mencampuri isterinya, baik ia setuju atau tidak. Dan siperempuan berhak menuntut maharnya uang telah ditentukan baik suami setuju atau tidak. Tetapi suami tidak boleh dilarang menggaulinya karena itu. Bahkan suami berhak segera menggaulinya sedang isteri berhak menuntut mahar apa yang dapat diberikannya diwaktu itu. Jika perempuan sebelumnya telah ditetapkan suatu mahar maka pihak laki-laki wajib membayarkannya mahar mitslnya itu, kecuali kalau kedua belah pihak telah sepakat untuk mengurangi atau melebihkan dari mahar tersebut.
Abu Hanifah berkata: “Suami berhak mencampurinya baik ia suka atau tidak, sekalipun maharnya dengan cara berhutang, karena dia sebelumnya ia setuju dengan mahar hutang." Dengan demikian hak suami tidak gugur, tetapi dengan mahar kontan seluruhnya atau sebagian, maka suami tidak boleh mancampurinya sebelum dibayarkannya terlebih dahulu kepadanya apa yang telah dijanjikannya dengan kontan tersebut. Isteri berhak menolak dicampurinya sehingga suami melunasi pembayaran yang disepakatinya secara kontan itu.
Waktu Wajib Membayar Mahar Yang Dijanjikan Sebelumnya
Mahar yang telah dijanjikan wajib dibayar seluruhnya bila berada dalam salah satu dari keadaan berikut ini:
1. Kalau sudah benar-benar disenggamai. Karena Allah berfirman:
وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَا نَ زَوْجٍ وَا تَيْتُمْ اِحْدهُنَّ قِنْطَا رًافَلاَ تَأ خُذُوْا مِنْهُ شَيْئًا – النسا ء –
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya sedikitpun.” (an-Nisa’ : 20).
Dan firman-Nya :
وَكَيْفَ تَأْ خُذُوْنَهُ وَقَدْاَفْضى بَعْضُكُمْ اِلَى بَعْضٍ وَاَخَذْنَ مِنَكُمْ مِيْثَا قًا غَلِيْظًا – النساء
“…bagaimana engkau akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat.”
“…bagaimana engkau akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat.”
2. Bila seorang dari suami isteri meninggal dunia sebelum bersenggama. Demikianlah Ijma’.
Abu Hanifah berpendapat: "Bila suami isteri sudah tinggal menyendiri dalam pengertian yang sebenarnya maka ia wajib membayar mahar yang telah dijanjikan". Maksudnya jika suami isteri berada disuatu tempat yang aman dari penglihatan siapapun dan tak ada halangan hukum untuk bercampur, seperti salah seorang berpuasa wajib atau sedang haid. Atau karena ada halangan emosi, seperti salah seorang menderita sakit sehingga tidak bias melakukan persenggamaan yang wajar, atau karena ada halangan yang bersifat alamiah seperti ada orang ketiga disamping mereka.
Tetapi Syafi’i, Malik, dan Dawud berbeda dengan pendapat di atas. Mereka berkata: ”Tidak wajib membayar uang mahar seluruhnya, kecuali bilamana telah diawali dengan persetubuhan yang sesungguhnya. Dan kalau masih menyendiri dalam arti yang benar wajib membayar separoh maharnya." Firman Allah:
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْتَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْفَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ –البقرة
“Jika kamu menceraikan isteri - isterimu, sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan separoh dari mahar yang telah kamu tentukan itu”. (Al-Baqarah: 237).
Abu Hanifah berpendapat: "Bila suami isteri sudah tinggal menyendiri dalam pengertian yang sebenarnya maka ia wajib membayar mahar yang telah dijanjikan". Maksudnya jika suami isteri berada disuatu tempat yang aman dari penglihatan siapapun dan tak ada halangan hukum untuk bercampur, seperti salah seorang berpuasa wajib atau sedang haid. Atau karena ada halangan emosi, seperti salah seorang menderita sakit sehingga tidak bias melakukan persenggamaan yang wajar, atau karena ada halangan yang bersifat alamiah seperti ada orang ketiga disamping mereka.
Tetapi Syafi’i, Malik, dan Dawud berbeda dengan pendapat di atas. Mereka berkata: ”Tidak wajib membayar uang mahar seluruhnya, kecuali bilamana telah diawali dengan persetubuhan yang sesungguhnya. Dan kalau masih menyendiri dalam arti yang benar wajib membayar separoh maharnya." Firman Allah:
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْتَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْفَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ –البقرة
“Jika kamu menceraikan isteri - isterimu, sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan separoh dari mahar yang telah kamu tentukan itu”. (Al-Baqarah: 237).
Maksudnya, bila terjadi thalak padahal
belum pernah bersetubuh dalam arti yang sebenarnya, maka wajib membayar
mahar separoh dari yang telah dijanjikan. Sedangkan dalam keadaan yang
menyendiri dan belum terjadi persetubuhan, maka tidak wajib membayar
mahar seluruhnya.
Kawin Tanpa Menyebutkan Maharnya Lebih Dulu
Kawin dengan tidak ditetapkan maharnya lebih dulu disebut nikah tafwidh. ) Hal ini menurut kebanyakan Ulama dibolehkan. Karena Allah berfirman:
لاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ مَالَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْتَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً – البقرة
“…tidak ada dosa atas kamu (tidak wajib membayar mahar) jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur denga mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.”
Ayat ini maksudnya tidak dipandang dosa
apabila suami menceraikan isterinya sebelum disenggamainya, dan belum
pula ditetapkan jumlah mahar tertentu pada isterinya itu. Cerai hanyalah
terjadi sesudah adanya perkawinan. Bila seseorang kawin tanpa
menetapkan jumlah maharnya lebih dahulu bahkan mensyaratkan tanpa mahar
sama sekali, maka ada orang yang berpendapat perkawinan tersebut tidak
sah. Demikian pendapat golongan Malik dan Ibnu Hazm,” Jika ada syarat
tanpa mahar sama sekali, maka perkawinannya batal.
لِقَوْلِ رَسُلِ اللهِ(ص) كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَا بِ اللهِ عَزَّ وَجلَّ فَهُوَبَا طِلٌ
Karena sabda Rasulullah sebagai berikut: ”Setiap syarat diluar ketentuan hukum Allah adalah batal.”
Sedangkan syarat diatas sudah jelas menyalahi hokum Allah. Jadi batal. Bahkan dalam Al-Qur’an sendiri membatalkan hal itu dengan firman-Nya:
وَاَتُوْاالنِّسَاءَصَدُ قَا تِهِنَّ نِحْلَلةً . النساء :
“…berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib".(An- Nisa’ :4).
Jadi syaratnya batal. Dan perkawinannya dipandang tidak sah selama tidak membetulkan yang batal itu. Karena itu perkawinan dengan syarat tanpa mahar adalah tidak sah. Tetapi golongan Hanafi berpendapat “boleh”. Sebab mahar tak termasuk dalam rukun dan sah perkawinannya.
لِقَوْلِ رَسُلِ اللهِ(ص) كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَا بِ اللهِ عَزَّ وَجلَّ فَهُوَبَا طِلٌ
Karena sabda Rasulullah sebagai berikut: ”Setiap syarat diluar ketentuan hukum Allah adalah batal.”
Sedangkan syarat diatas sudah jelas menyalahi hokum Allah. Jadi batal. Bahkan dalam Al-Qur’an sendiri membatalkan hal itu dengan firman-Nya:
وَاَتُوْاالنِّسَاءَصَدُ قَا تِهِنَّ نِحْلَلةً . النساء :
“…berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib".(An- Nisa’ :4).
Jadi syaratnya batal. Dan perkawinannya dipandang tidak sah selama tidak membetulkan yang batal itu. Karena itu perkawinan dengan syarat tanpa mahar adalah tidak sah. Tetapi golongan Hanafi berpendapat “boleh”. Sebab mahar tak termasuk dalam rukun dan sah perkawinannya.
Wajib Membayar Mahar Mitsl, Sesudah Bersenggama atau Karena Kematian.
Jika suami telah menyenggamai isterinya atau mati sebelum sempat bersenggama maka isterinya berhak mendapat mahar mitsl dan warisan. Abu Dawud meriwayatkan dari Abdulah bin Mas’ud yang dalam masalah ini ia berkata: ” Menurut pendapatku sendiri, jika benar adalah dari Allah , dan jika salah adalah dari saya sendiri. Bahwa bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya (sebelum disenggamainya) ia berhak mendapat mahar seperti perempuan yang lain, tidak kurang dan tidak lebih. Dia wajib iddah dan berhak mendapat warisan.”
Lalu Ma’qil bin Yasar berdiri setaya berkata: “Saya bersaksi sungguh pikiranmu itu sesuai dengan putusan Rasulullah pada diri Barwa’ binti Wasyiq. Demikianlah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Dawud dan fatwa Syafi’I yang paling kuat.
Mahar Mitsl
Mahar Mitsl adalah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan perempuan lain, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, kegadisannya, kejandaannya, dan negerinya sama ketika aqad nikah dilangsungkan. Dan jika dalam factor-faktor tersebut berbeda, maka berbeda pula maharnya. Seperti janda yang mempunyai anak, janda tanpa anak dan gadis (perawan). Sebaba jumlah mahar untuk perempiuan biasanya terjadi perbedaan, karena perbedaan faktor-faktor tersebut. Ukuran sama yang dipergunakan yaitu dengan melihat kepada anggota keluarganya sendiri, seperti : saudara perempuannya sekandung, bibinya dan putri-putri bibinya.
Ahmad berkata: “Juga diukur dengan keluarganya, golongan Ushbah dan golongan dzawil arham. Jika ada perempuan dari golongan keluarganya pihak ayah, maka dibandingkanlah dengan perempuan lain yang mau menetapkan berapa mahar mitsl untuknya. Maka dengan mengambil ukuran seorang perempuan asing dari suatu keluarga yang tingkatnya setarap dengan keluarga ayahnya, dijadikan ukurannya."
Kawinnya Gadis Kecil Dengan Mahar Kurang Dari Mahar Mitsl
Syafi’i, Daud, Ibnu Hazm dan dua orang murid golongan Hanafi berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dengan mahar kurang dari mahar mitsl.
Harga yang ditetapkan ayahnya tidak mengikat padanya. Ia harus diberi mahar mitsl, dengan ukuran perempuan baligh. Karena mahar adalah hak perempuan, dan tak ada hak bagi ayahnya untuk menentukan jumlahnya. Tetapi Abu Hanifah berpendapat, jika ayah yang mengawinkan anak perempuannya itu masih di bawah umur, ia boleh mengurangi jumlahnya dari mahar mitsl. Tetapi kalau bukan ayah atau kakeknya, tidak boleh menentukan jumlah mahar yang dikehendaki.
Memberikan Mahar Dua Kali Angsuran.
Suami yang menthalaq isterinya sebelum terjadi persenggamaan, wajib membayar separohnya. Dan ia harus menetapkan dulu berapa mahar yang menjadi hak isterinya, sebab Allah berfirman:
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلَ اَنْتَمَسُّوهُنَّ وَقَدْفَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلاَّ اَنْ يَعْفُوْنَ اَوْيَعْفُوَاالِّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَا حِ. وَاَنْ تَعْفُوْااَ قْرَبُ لتَّقْوَى وَلاَتَنْسَوُااْ لفَضْلَ بَيْنَكُمْ اِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ – البقر ة
“…jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separoh dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali kalau isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Sikap maaf itu adalah lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 237)
Suami yang menthalaq isterinya sebelum terjadi persenggamaan, wajib membayar separohnya. Dan ia harus menetapkan dulu berapa mahar yang menjadi hak isterinya, sebab Allah berfirman:
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلَ اَنْتَمَسُّوهُنَّ وَقَدْفَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلاَّ اَنْ يَعْفُوْنَ اَوْيَعْفُوَاالِّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَا حِ. وَاَنْ تَعْفُوْااَ قْرَبُ لتَّقْوَى وَلاَتَنْسَوُااْ لفَضْلَ بَيْنَكُمْ اِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ – البقر ة
“…jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separoh dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali kalau isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Sikap maaf itu adalah lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 237)
Uang Pesangon
Jika suami menthalaq isterinya sebelum disenggamai dan belum pula ditetapkan jumlah mahar yang wajib diterima oleh isterinya, maka ia wajib memberikan uang pesangon kepadanya sebagai ganti dari apa yang diberikan oleh bekas isterinya. Perbuatan ini termasuk dalam menthalaq secara baik dan dengan adab yang luhur. Allah berfirman:
اَطَّلاَقُ مَرَّتَا نِ فَاِمْسَا كٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْتَسْرِيْحُ بِاِحْسَاَ نٍ : البقرة
“…thalaq (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…” (Al-Baqarah: 229)
Para Ulama sepakat bagi perempuan yang jumlah maharnya belum ditentukan dan belum pernah disenggamai, maka ia hanya berhak mendapat pesangon saja. Pesangon ini berbeda menurut kaya dan miskin laki-lakinya. Tidak ada yang pasti bagi hak perempuan dari pesangon ini. Allah berfirman :
لاَجَنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُوْ
النِّسَآ ءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْ هُنَّ اَوْتَفْرِضُوْالَهُنَّ فَرِيْضَةً
وَمَتِّعُوْهَنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدْرُهُ وَعَلىَ الْمُقْتِرِقَدَ رُهُ
مَتَا عاً بِ الْمَعْرُوْفِ حَقَّا عَلىَ الْمُحْسِنِيْنَ. البقرةJika suami menthalaq isterinya sebelum disenggamai dan belum pula ditetapkan jumlah mahar yang wajib diterima oleh isterinya, maka ia wajib memberikan uang pesangon kepadanya sebagai ganti dari apa yang diberikan oleh bekas isterinya. Perbuatan ini termasuk dalam menthalaq secara baik dan dengan adab yang luhur. Allah berfirman:
اَطَّلاَقُ مَرَّتَا نِ فَاِمْسَا كٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْتَسْرِيْحُ بِاِحْسَاَ نٍ : البقرة
“…thalaq (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…” (Al-Baqarah: 229)
Para Ulama sepakat bagi perempuan yang jumlah maharnya belum ditentukan dan belum pernah disenggamai, maka ia hanya berhak mendapat pesangon saja. Pesangon ini berbeda menurut kaya dan miskin laki-lakinya. Tidak ada yang pasti bagi hak perempuan dari pesangon ini. Allah berfirman :
“…tidak ada sesuatu pun (mahar atau dosa) atas kamu jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka; orang yang mapu menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan ” (Al-Baqarah: 236)
Gugurnya Mahar
Suami gugur dari kewajiban membayar mahar seluruhnya jika perceraian sebelum terjadinya senggama datang dari pihak isteri, umpama isteri keluar dari Islam, atau minta fasakh karena suami miskin, cacad, atau karena isteri cacad lalu suami minta dibatalkan, atau karena permpuan setelah dewasa menolak untuk bersuamikan dengan suami yang ia dikawinkan waliny sebelum balighnya.
Bagi isteri seperti ini hak pesangonnya gugur, karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu daripadanya. Dengan demikian pesangon sebagai ganti gugur seluruhnya, sebagaimana halnya hukum seorang penjual yang tidak jadi menyerahkan barangnya kepada pembelinya.
Begitu juga mahar gugur apabila perempuan belum disenggamai melepaskan maharnya atau menghibahkan kepadanya. Dalam hal sepeerti ini gugurnya mahar dikarenakan perempuannya sendiri yang menggugurkannya. Dan mahar sepenuhnya dalam kekuasaan perempuan.
Memberikan Mahar Tambahan
Abu Hanifah berpendapat : ”Memberikan mahar tambahan sesudah berlangsungnya akad nikah boleh, jika suami telah mencampuri isteriny atau karena mininggal dunia lebih dahulu. Jika suami menthalaq isterinya sebelum terjadi persenggamaan, maka perempuan tidak boleh menerima mahar lebih, tetapi ia hanya berhak separohnya saja. Tetapi Malik berpendapat mahar tambahan itu boleh asalkan sudah terjadi persenggamaan maka ia berhak menerima separoh dari mahar musamma ) dan separoh dari mahar tambahan. Jika suami meninggal sebelum bersenggama atau sebelum menerima penyerahan isterinya, maka gugurlah mahar tambahannya dan tinggal hanya mahar musammanya saja. Tetapi Syafi’i berpendapat: “Mahar tambahan itu merupakan hibah perangsang.” Jika perempuan sudah dipegangnya boleh mahar tambahan ini diterima, jika belum hukumnya batal. Dan Ahmad berpendapat: Hukum mahar tambahan sama dengan mahar musamma.
Memegang Mahar
Jika isteri masih kecil maka bapaknyalah yang berhak memegang (menyimpan) maharnya. Sebab dialah pengurus hartanya. Jika ia tidak punya ayah atau datuk maka wali lainnya yang berhak mengurus, menyimpan dan menitipkan mahar tersebut kepada kantor Bendahara Negara.
Dan wali ini tidak boleh menggunakan harta tersebut kecuali dengan izin Pengadilan khusus.
Adapun mahar perempuan janda (dewasa) hanya boleh disimpan oleh walinya dengan izinnya, jika perempuan itu dewasa. Karena dialah orang yang berhak menggunakan hartanya. Tetapi jika ayah yang memeganga mahar tersebut sepengetahuannya sendiri, maka perbuatan tersebut dianggap mendapat izinnya, jika perempuannya diam. Dan dengan demikian suami terlepas dari tanggung jawab. Karena izin perempuan dalam penyimpanan mahar tersebut oleh ayahnya sendiri adalah ibarat menyimpan harga barang dagangannya.
Adapun bagi gadis yang dewasa dan akalnya sehat, maka ayahnya tidak berhak memegang maharnya, kecuali dengan izinnya, jika ia telah berumur dewasa, seperti halnya dengan janda.
Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa ayahnya berhak memegangnya, walaupun tanpa izinnya. Karena ini berlaku dalam adat dan perempuan / gadis dewasa sama dengan perempuan kecil.
……Wallahu a’lam bi al showab.
Semoga Bermanfaat bagi kita semua. Aamiiin . . .